Posted by: lizenhs | September 11, 2013

Sir Thomas Stamford Raffles Di Pedalaman Minangkabau: Kincir Air, Bercocoktanam dan Penggilingan Tebu

Sir Thomas Stamford Raffles Di Pedalaman Minangkabau: Kincir Air, Bercocoktanam dan Penggilingan Tebu

Oleh: Haslizen Hoesin

Pengantar

Tulisan yang pembaca akan baca berikut ini adalah mengenai: Kincir Air,  Bercocoktanam dan Penggilingan Tebu, dikutip dari tulisan Sir Thomas Stamford Raffles  tentang perjalanan di pedalaman Ranah Minangkabau, berjudul “Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles by his Widow” Vol. I [edisi kedua] London: James Ducman 1835, hlm 401 -409, 413, 415 – 427, 432 – 433. Tulisan tersebut diterjemahkan oleh Tim Komunitas Bambu. Penyunting Dewi Anggraeni dengan judul “Thomas Stamford Raffles Menuju Sumber Peradaban Melayu”, halaman 196 – 211. Dibukukan dengan beberapa tulisan, judul “Sumatera Tempo Doeloe dari Marco Polo Sampai Tan Malaka”. November 2010. Kutipan mengenai Kincir Air, Bercocoktanam dan Penggilingan Tebu adalah untuk saling melengkapi tulisan “Teknologi Tepat Guna: Menaikan Air Dengan Kincia Aiahttps://lizenhs.wordpress.com/2008/12/23/teknologi-tepat-guna-menaikan-air-dengan-kincia-aia/ dan “Beragam Manfaat, Pengembangan Dan Kendala Kincia-Aiahttps://lizenhs.wordpress.com/2009/01/19/beragam-manfaat-pengembangan-dan-kendala-kincia-aia-2/ Selamat membaca semoga bermanfaat.

Pendahuluan

Sir Thomas Stamford Raffles [1781 -1826] pertama kali ditempatkan di Penang oleh East Indian Company (EIC).  Ketika Inggris menduduki Jawa, Raffles ditunjuk sebagai Letnan-Gubernur di sana [1811 – 1816]. Ia memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengadakan berbagai reformasi dan bahan-bahan untuk bukunya yang gemilang, History of Java [1817].  Selanjutnya Raffles [1818 – 1824] sebagai Letnan-Jendral di Bengkulu.

Pada awal juli 1818, Raffles berlayar dari Bengkulu ke Padang bersama istrinya, seorang naturalis bernama Thomas Horsfield dan stafnya dalam jumlah banyak.  Di Padang mereka langsung mendapatkan sejumlah kuli angkut yang bersedia ikut dalam rombongan.

Langkah dramastis Raffles adalah mendirikan koloni di Singapura tahun 1819, guna  memastikan bahwa Inggris punya keterlibatan besar di Selat Malaka.

Awal Perjalanan Menuju Pagaruyung   

Awal juli 1818, Raffles berlayar dari Bengkulu menuju Padang bersama istrinya, seorang naturalis bernama Thomas Horsfield dan stafnya dalam jumlah banyak.  Di Padang mereka langsung mendapatkan 200 kuli angkut yang bersedia ikut dalam rombongan.  Pada 14 Juli 1818 mereka berangkat dari Padang  ke pedalaman dengan berjalan kaki dalam rombongan besar, termasuk 50 serdadu Inggris menuju Pagaruyung.

Setelah menuruni perbukitan dan tibalah didataran Solok (Luak Kubuang Tigo Baleh), rute dilewati sepenuhnya terbentang di sepanjang bubungan sempit atau pematang tinggi terletak diantara sawah-sawah hingga akhirnya tiba di suatu pasar.  Pasar ditandai dengan beberapa pohon beringin besar. Di sini mereka istirahat sejenak dan menikmati berbagai jenis buah yang disuguhkan. Dalam perjalanan di bukit batu sampai ke pasar, rombongan bertambah besar mencapai beberapa ribu orang.  Orang-orang pribumi di dekat jalanan yang dilewati bergabung dalam rombongan.  Mereka menyambut rombongan dengan teriakan (lolongan) dan saorak sorai.

Saat memasuki desa, Raffles terkejut melihat pakaian penduduk berbeda dengan pakaian khas Melayu.  Mereka berpakaian sesuai dengan adat orang putih (paderi), yaitu pakaian berwarna putih atau biru mengenakan sorban dan membiarkan jenggot mereka tumbuh seuai dengan peraturan yang yang ditetapkan Tuanku Pasaman, seorang pembaharu agama (Islam). Para perempuan juga mengenakan pakaian putih dan biru, sebagian dari mereka menutup kepala semacam tudung (tikuluak).

Umumnya penampilan pisik orang-orang disini tidak cakap; perawakan maupun rupa tidak seelok orang-orang Pasumah (Pasemah).  Perilaku mereka agak kasar, tetapi ilmu pertanian, kesejahteraan dan kondisi mereka lebih unggul.

Senin [20 Juli 1818]. Rombongan menghabiskan waktu di Solok Salayo. Raffles melewati sisa hari dengan mengamati kota dan desa.  Desa di Luak Kubuang Tigo Baleh terkenal dengan hasil emas.  Tambang-tambang emas berada di Sungai Pagu dan Sungai Abu. Desa-desa memiliki kebiasaan bercocoktanam tingkat tinggi, lebih dari yang diduga Raffles semula.

Rabu [22 Juli 1818]. Subuh, rombongan berada ditepi danau [Singkarak], menaikkan barang-barang ke perahu dan bersiap-siap menuju Simawang. Rombongan berangkat delapan lewat limabelas dan sampai pukul setengah dua di kaki bukit dimana Simawang berada yang terletak dihulu Sungai Kuantau (Kuantan) atau sungai Indragiri. Kami melanjutkan perjalanan mendaki bukit di panas terik dan melelahkan.  Dipuncak bukit kami disambut dengan ramah oleh kepala desa.  Raffles menginap dirumah panjang yang kokoh, ditupang oleh tiang-tiang tak ubahnya seperti perahu.  Pintu masuk terletak ditengah, tetapi terdapat pula pintu kedua yang terdapat disatu ujung rumah.

Kincir Air menaikan air, bercocoktanam dan Teknologi Giling Tebu

Kamis [23 Juli 1818] danau Singkarak tampak tenang dan damai. Airnya dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk.  Sekitar 50 yard [kurang lebih 45 meter] dari hulu sungai (Batang) Kuantan, kincir air yang kokoh digunakan untuk mengairi sawah didekatnya.  Kincir-kincir air ini bahan utamanya dari bambu dan memang dibuat untuk mengairi sawah.

Kincir air ini umum digunakan di Menangkabu [Minangkabau] dan dapat dianggap sebagai kemajuan dalam bercocoktanam yang bahkan belum dicapai oleh Jawa, meskipun Jawa memiliki hubungan dengan Cina sejak lama.  Mengingat bangsa Eropa maupun Cina belum pernah menginjakkan kaki di tanah Minangkabu dan selama berabad-abad penduduk pribumi Minangkabau tidak pernah berintegrasi dengan orang-orang asing, kincir-kincir air ini dapat dianggap sebagai penemuan asli orang pribumi.  Seingat saya (Raffles), tidak pernah melihat kincir air sejenis ini di Jawa.

Lereng-lereng bukit yang tak bisa dijadikan sawah terasering atau tidak dapat diairi, ditanami tebu.  Ladang tebu ini tergolong besar dan di sana dibangun penggilingan-penggilingan untuk memeras sari tebu yang kemudian akan diproses menjadi gula (disebut saka tabu). Mesin-mesin penggiling ini terdiri dari dua silinder tegak lurus, bagian atas dibentuk menyerupai sekrup (ulir) yang bertautan, kedua selinder itu diputar dengan menggunakan tenaga sapi, kedua silinder berputar dalam arah yang berlawanan.  Hasil pemerasan sari tebu ditampung dengan penampungan (reservoir) yang terletak di bawah penggilingan.

Kami meninggalkan Semawang pukul setengah tujuh dan tiba di Suruaso pada pukul satu, kota terbesar kedua di Minangkabau sekaligus daerah yang lokasinya dekat dengan Pageruyong [Pagaruyuang].  Setelah menuruni Bukit Simawang, kami menyeberang sungai melalui jembatan gantung yang sangat romantis, berayun-ayun kencang saat kami lewati satu persatu. Sekitar pukul sebelas kami melihat Pagaruyung untuk pertama kali.

Ketika di Suruaso kami diantar ketempat hunian terbaik ditempat itu, yakni istana, berupa rumah papan sederhana panjang sekitar 30 kaki [kurang lebih sembilan meter] terletak ditepi sungai Emas.  Disini kami dipertemukan dengan  Tuan Gadis atau Ratu Perawan yang memerintah daerah tersebut. Kami disambut dengan keramahan dan sukacita yang membuat saya terharu.

Tepat di seberang rumah papan (istana) yang dijelaskan diatas, terdapat sebuah bangunan kecil berbentuk bujursangkar [disebut surau (masjid)]

Jum’at [24 Juli 1818] kami meninggalkan Suruaso pada pukul tujuh dan tiba di Pagaruyung pukul sembilan kurang lima belas. Ketika kami mendekati Pagaruyung kami melihat pemandangan yang indah dari situasi kota yang pernah menjadi masyhur.  Pagaruyung dibangun dikaki bukit dan separohnya dilereng bukit yang curam dan terjal, disebut gunung Bongso (Bungsu).  Di bawah kota Pagaruyung, tepatnya di jurang mengalir batang (sungai) Selo yang indah dalam aliran berkelok-kelok melewati Suruaso, dari sana sungai Emas berasal akhirnya bermuara di batang (sungai) Indragiri. Di depan kota Pagaruyung tampak gunung Berapi (Marapi).  Dilereng gunung inilah sebagian besar penduduk bermukim.  Seluruh sisi gunung ditutupi oleh pedesaan dan sawah-sawah yang menyebar keberbagai arah.

Di Pagaruyung kami pergi kehilir sungai, di pinggir sungai terdapat rumah kecil yang belum lama dibangun, yang dipersiapkan untuk kami menginap.  Kami beristirahat untuk sementara waktu karena berencana kembali ke Suruaso sore nanti, saya meninggalkan rombongan dan jalan-jalan selama satu dua jam. Saya kembali kerombongan dan disana tuan Gadis dan para pangeran Ranah Minang telah berkumpul.  Satu tembakan merian penghormatan dilepaskan dan setelah bersorak tiga kali kami bersiap-siap untuk kembali ke Suruaso.

Dilihat dari ketinggian, pemandangan kota Pagaruyung membentang kearah utara dan barat, sampai sejauh puncak Gunung Berapi [Marapi] dan bukit-bukit di sekitarnya. Dari kota Pagaruyung sejauh mata menandang, seluruh negeri ini adalah lahan pertanian tanpa akhir, diselingi kota dan desa, dinaungi oleh pohon kelapa dan buah-buahan.  Saya berani mengatakan bahwa pemandangan ini mampun menyaingi segala keindahan yang pernah saya lihat di Jawa, alamnya sama indah, populasi sama padat dan pertanian sama kaya.

Kami kembali ke Suruaso sekitar pukul tiga dan pada petang harinya saya mengunjungi sebuah lokasi peninggalan yang sangat luas dimana pernah ditemukan emas dalam jumlah besar.

Keesokan harinya Sabtu [25 Juli 1818] kami meninggalkan Saruaso kembali ke Padang pada pukul setengah tujuh dan tiba di Simawang pada pukul setengah duabelas.  Kami menginap disini hingga hari Minggu petang. Agar kami berangkat pagi-pagi sekali besok pagi, kami turun kedanau dan berkemah ditepinya selama semalam.  Ketika sedang mengumpulkan sampel mineral di pinggir danau, saya menemukan sebua prasasti dalam huruf kawi. Sayangnya tulisan prasasti itu tersebut hampir pudar karena terus-menerus terkikis air.

Penemuan atas sebuah negeri dengan populasi besar dan budaya pertanian dengan tingkat yang tinggi adalah hal yang menarik.  Sepanjang perjalanan kami, saya tidak menemukan satu pun ladang, model bercocoktanam yang berpidah-pindah, sebagaimana yang digambarkan oleh Mr Marsden dan lazim ditemukan dekat pesisir selatan.  Sudah lama ladang-ladang tersebut digantikan oleh sistem pengolahan lahan menjadi sawah-sawah biasa dan pendirian tempat tinggal diatasnya.

Disini industri manufaktur juga lebih maju. Sejak dahulu Minangkabau terkenal dengan produksi kerisnya. Disini besi ditempa dan dijadikan barang produksi sejak zaman dahulu kala.  Industri tembikar yang ada dekat pinggran danau tidak hanya memasok Padang, tetapi juga Bencoolen (Bengkulu) dengan hasil produksinya yang sangat berguna.

Penutup

Pada perjalanan Raffles ini rupanya dia tidak melihat/menemukan kincir air yang dimanfaatkan untuk menumbuk padi (gabah), kalau dia melihat tentu lebih menarik komentar Raffles tentang berbagai pemanfaatan energi air di Ranah Minang. Kincir air di Ranah Minang merupakan suatu teknologi dalam sistem pengairan di daerah pertanian dan juga untuk menumbuk padi dan beras (untuk tepung) sebagai teknologi pasca panen dan tergolong teknologi tinggi saat itu.  Sekarang kincir perannya harus meluas yaitu untuk memutar dinamo listrik menerangi rumah di tepi batang aia (sungai), baik terjangkau maupun tidak oleh listrik PLN, tapi itu sedikit (tidak) dilakukan.  Kenapa demikian????

Kincir sudah ditingalkan masyarakat Minang karena terjebak dengan istilah kuno dan modern, sungguh ironis nasib kincia aia, yang seharusnya digali/dikembangkan dan ditingkatkan efisiensinya, sehingga memberi manfaat yang lebih banyak, tidak terhenti sebagai apa adanya seperti yang dulu untuk menaikkan air dan pengangkat alu lesung.  Energi air gratis dibiarkan begitu saja lewat, sungguh disayangkan, temuan pribumi berhenti dan tidak dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di Eropa, Amerika Serikat dan Jepang Energi air (Kincir) tetap populer sebagai sumber energiDiharapkan perguruan tinggi di Sumbar dan perguruan Tinggi lain di Indonesia bersama Pemprov, Pemkab, Pemkot dan Masyarakat Peduli Energi Untuk Rakyat di Pedesaan, tergerak hatinya secara bersama menempatkan pembangkit listrik micro hidro dengan melibatkan penduduk setempat untuk memanfaatkan energi air yang tersedia gratis dan tersebar di mana-mana (Indonesia) menggunakan konsep Teknologi Tepat Guna (TTG). Mengenai TTG baca juga Teknologi Tepat Guna Apa Itu????https://lizenhs.wordpress.com/2008/12/23/teknologi-tepat-guna-apaaa-itu/ Semoga bermanfaat.  Terimakasih atas kunjungan anda.  Bila anda suka, beritahu yang lain.


Responses

  1. SALAM, APA KABAR ? Alhamdulillah saya telah mengunjungi Blog Anda, intinya thema dan uraian materinya sangat bagus. Nah, tidak ada salahnya jika tulisan-tulisan Anda juga untuk dituangkan dalam Jurnal Ilmiyah, dengan beberapa alasan. SUATU HAL YANG SULIT DIPUNGKIRI DENGAN LUASNYA WILAYAH NKRI + ASEAN SANGAT MUNGKIN DATA SEJARAH TERKAIT KEBERADAAN :
    PERAN AKTIF TOKOH/TEUNGKU/TUAN GURU/ AJEUNGAN
    LEMBAGA PENDIDIKAN (Mis. PESANTREN, DAYAH, SURAU, MADRASAH)
    KESULTANAN
    MASJID
    KEMARITIMAN (Jaringan Sungai, Pelabuhan, dsb)
    MAKAM
    ISTANA
    NASKAH/MANUSKRIP
    TATARUANG KOTA
    KERAJINAN (gerabah, batik, Kaligrafi, seni pentas, senjata, logam, keramik, dll)
    Masing-masing tersebut di atas BELUM BANYAK TERUNGKAP. (Pilih salah satu saja)
    Jurnal Ilmiyah KALIJAGA dengan izin terbit ISSN no.2302-6758, (focus Sejarah Kebudayaan & Peradaban Islam di Asia Tenggara) selalu setia menunggu Makalah dan/ atau hasil penelitian dari para PEMERHATI, PENELITI, DOSEN, GURU Pengampu materi SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM. Andai sudah ditulis tolong kirim via email : jurnalkalijaga@ymail.com.
    Untuk membangun kebersamaan, tolong disampaikan kpd segenap teman yang lain. Jazakumullah kheir khoiral jaza’. Tks

    • Terima kasih kunjungan anda Budi, mudah-mudahan bermanfaat


Leave a comment

Categories